Minggu, 18 Desember 2011

makalah muktazilah


MAKALAH
Teologi Islam:
Aliran Mu’tazillah
Dosen Pembimbing: Ust. Aulia, Lc.























Oleh :
Muh. Haris Zubaidillah
Ahmad Dimyati
Basri







SEKOLAH TINGGI ILMU AL QURAN ( STIQ ) AMUNTAI
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
TAHUN AKADEMIK   2010/2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur pemakalah tujukan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmatNya sehingga pemakalah mampu menyelesaikan makalah ini tanpa hambatan apapun. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW atas segala jerih payah beliau dalam mendakwahkan ajaran Islam sehingga mampu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya din al Islam.
Makalah ini ditulis sebagai tugas mata kuliah Qiraat Kutub Shirah. Makalah ini merupakan studi ilmiah dalam memahami aliran Mu’tazillah dengan menguraikan dan memaparkan sejarah munculnya aliran Mu’tazillah, kemudian membandingkannya. Karena dengan mengetahui sejarah timbulnya suatu pemikiran, maka akan memudahkan dalam memahami visi dan misi aliran tersebut.
Pemakalah menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini, sehingga pemakalah mengharapkan banyak saran dan kritik demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul ................................................................................................     i
Kata Pengantar ...................................................................................................    ii
Daftar Isi ............................................................................................................   iii
Mu’tazilah ..........................................................................................................    1
A. Asal Usul Kemunculan Mu’tazilah ...............................................................    1
B. Tokoh dalam Aliran Mu’tazilah ....................................................................    2
C. Doktrin-doktrin Ajaran Mu’tazilah ...............................................................    3
D. Analisis ..........................................................................................................    9
Daftar Pustaka
Mu’tazilah
A.    Asal usul kemunculan mu’tazilah
Secara harfiyah kata Mu’tazila berasal dari kata i’tazala yang berarti berpisah, atau memisahkan diri , yang berarti juga menjauh atau atau menjauhkan diri [1]. Sedangkan menurut istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam mengenai pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah dan Abdullah bin Zubair[2].
Golongan kedua muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul kerena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orng yang berbuat dosa besar.
Versi lain yang dikemukakan Tasy Kubra Zadah, ia mengatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk masjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya  majelis Hasan Al Basri. Setelah mengatahui bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berderi dan meninggalkan tempat sambil berkata “ Ini kaum Mu’tazilah “ [3].
Teori baru mengatakan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Wasil dan Hasan Al Basri dan sebelun timbulnya pendapat tentang posisi di diantara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan orang yang tidak maau berintervensi dalam pertikaiain politik  yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaiain disana , satu golongan mengikuti pertikaian itu dan yang satunya lagi menjauhkan diri ke Kharbita [4]
Kemunculan Mu’tazilah dalam pemikiran teologi islam diawali oleh masalah yang hampir sama dengan kedua aliran yang telah dijelaskan di atas, yaitu mengenai status dosa besra , apakah beriman atau telah kafir. Setiap pelaku dosa besar menurut Mu’tazilah, berada di antara dua posisi, yakni antara kafir dan mukmin. Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertoubat , ia dimaksukka ke dalam neraka selama-lamanya, akan tetapi siksaannya lebih ringan dari siksaan orang kafir.[5]
Dengan demikian , kata i’tazala dan Mu’tazilah telah di pakai kiri-kira seratus tahun sebelum peristiwa Wasil dengan Hasan Al Basri, yang mengandung arti golongan orang yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik yang terjadi padamasa itu. [6]
B.     Tokoh dalam Aliran Mu’tazilah
Mu’tazilah merupakan salah satu golongan  islam yang lahir pada masa Bani Umayyah dan tampak sekali  keaktifannya pada masa Bani Abbas. orang-orang Mu’tazilah dalam persoalan-persoalan teologi lebih banyak memakai akal dan bersikap fisolofis. mereka banyak terpengaruh oleh folosofis barat dan berpaling dari Aqidah Ahli Sunnah Wal Jama’ah.
      Tokoh-tokoh Mu’tazilah antara lain Wasil bin Atha, Abu Huzail bin Al Allaf, An Nazham, Al Bisry bin Al Mu’tamir, Abu Musa Al Muhdar, dan Thumamah bin Asyaras.[7]
C.    Doktrin-Doktrin Ajaran Mu’tazilah
            Ajaran-ajaran Mu’tazilah ( Ushulul khamsah )                                               
1.      Tauhid,
 At tauhid merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini, namun bagi Mu’tazilah, tauhid memeliki arti yang spesik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi kemahaesaannya, Tuhanlah satu-satunya yang maha esa. oleh kerena itu  Allah lah yang Qadim. untuk memurnikan kemahaesaanya Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memeliki sifat-sifat, penggambarabn fisik tuhsn dan Tuhan tidak dapat dilihat oleh mata kepala di akherat nanti.
Apa yang disebut sebagai sifat menurut Mu’tazilah adalah dzat Tuhan senderi. abu Huzail berkata “ Tuhan mengetahui ddengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan senderi, Tuhan berkuasa dengan kekuasaanyadan kekuasaanya itu adalah Tuhan senderi. Dengan demikian pengetahuan Tuhan  dan kekuasaan Tuhanadalah Tuhan senderi, yaitu dzat dan esensi Tuhan. bukan menempel pada dzat-NYA.
  1. Al Adl
Ajaran Mu’tazilah yang kkedua ini adalah Al Adl, yang berarti Tuhan maha adil. adil ini merupakan sifat Tuhan yang paling gembalang untuk menunjukan kesempurnaan, kerena Tuhan Maha sempurna, dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan untuk menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sisi pandang manusia. kerena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentinagn manusia. Tuhan adil apabila bertindak hanya yang baik dan yang terbaik.bukan yang tidak baik.
Ajaran-ajaran yang berkaitan erat dengan hal ini ada beberapa hal, antara lain :
a.       Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan hal dan menciptakan perbuatan manusia itu senderi, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak, manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatnnya, baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk.
b.      Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah arabnya, berbuat baik dan terbaik itu adalah Ash Shaleh wa As Ashlah, maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya kerena kan menimbulkan kesan Tuhan itu jahat, sesuatu hal yang tidak pantas bagi Tuhan. Jika Tuhan berbuat jahat terhadap manusia dan berbuat baik kepada yang lain maka itu tidak adil bagi Tuhan.dengan senderinya Tuhan juga tidak maha sempurna. Bahkan menurut An Naham salah seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan Tuhan tidak dapat berbuat jahat, konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan, kemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu siat-sifat yang layak bagi NYA, Artinya bila Tuhan tidak bertindak seperti itu, berarti ia tidak biajksana lagi, pelit, dan kasar.
c.       Mengutus rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban bagi Tuhan kerna alasan-alasan berikut ini :
1)      Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan halitu tidak terwujud, kecuali          dengan mengutus rasul kepada mereka.
2)      Al Quran secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberi belas kasih     kepada manusia.
3)      Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada NYA, agar tujuan   tersebut terlaksana , tidak ada lagi jalan kecuali dengan mengutus rasul.
  1. Al Wa’d wa al-Wa’id
Ajaran ini sangat erat hubungannya dengan ajaran kedua di atas, Al Wa’d wa al-Wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Mahaadil dan yang Mahabijaksana, tidak akan melanggar janji-janjinya senderi. Perbuatan Tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-janji NYA. Yang memberi pahala surga kepada orang yang berbuat baik dan mengencam dengan siksa neraka kepada orang yang berbuat jahat. Begitu pula dengan janji Tuhan yang untuk memberi pengampunan pada orang yang bertoubat nasuha pasti benar adanya.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan siapaun yang berbuat jahat maka akan dibalas dengan siksa yang sangat sedih.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-janjinya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang berbuat maksiat, kecuali orang yang bertoubat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia bertoubat. Kajahatan dan kedurhakaan menyebabakan pelakunya masuk neraka.
  1. Almanzilah bainal Manzilatain
Inilah ajaran ynag mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah. Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman yang melakukan dosa besar. Seperti yan tercata dalam sejarah , Khawarij  menganggap orang tersebut sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan menurut Wasil bin Atha adalah orang tersebut berada pada dua posisi.
Pokok ajaran ini adalh mukmin yang melakukan dosa besar dan belum bertoubat bukan kagi mukmin  atau kafir, tetapi fasik. Izusu mengutip Ibn Hazam menguraikan sebagai berikut, Orang yang melakukan dosa besar disebut fasik, ia bukan lagi mukmin dan bukan juga munafik, mengomentari pendapat itu, Izusu menjelasjan bahwa sikap Mu’tazilah membolehkan hubungan perkawinan dan warisan antara mukmin pelaku dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya.
Menurut pandangan Mu’tazilah , pelaku dosa besar tidak lagi dikatakan sebagai mukmin secara mutlak, Hal ini kerena keimanan menuntut adanya kepaTuhan kepada Tuhan,tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran, berdosa besar bukanlah kepaTuhan melainkan kedurhakaan. Pelakunya tidak dapat dikatakan kafir secara mutlak kerena ia masih percaya dengan adanya Tuhan. Rasul NYA dan mengerjakan pekerjaan yang baik, hanya saja kalau meninggal sebelum bertoubat , ia dimasukan kedalam neraka  dan kekal didalamnya. Orang mukmin masuk surga dan Orang fasik pun dimasukkan kedalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari pada orang kafir. Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga yang dengan kelas yang lebih rendah dari mukmin sejati. Disinilah tampaknya. Tampaknya disinilah Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak menyelepekan perbuatan dosa, terutama dosa besar.
  1. Al Amr bi Al Ma’ruf wa An Nahy an Munkar
Ajaran dasar yang kelima ini adalah menyuruh kebaikan dan melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan kebaikan, ini merupkan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, di antaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan  mencegahnya dari kemungkaran.
Menurut Abd Al Jabbar, syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang yang mukmin yang melakukan amar ma’ruf nahi munkar, di antaranya adalah :
·           Ia mengetahui bahwa perbuatan yang disuruhnya itu memang ma’rif dan yang dilarangnya itu memang munkar.
·           Ia mengetahui bahwa kemungkaran itu telah nyata ddilakukan orang.
·           Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf nahimunkar tersebut tidak akan membawa mudarat yang lebih besar lagi.
·           Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya itu tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
            Amar Ma’ruf nahi Munkar bukan merupakn monopoli konsep mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan di dalam Al Quran . arti asa al ma’ruf adalah apa yang telah di akui dan telah diterima oleh masyarakat kerena mengandung kebaikan dan kebenaran, lebih spesifik lagi , al ma’ruf adalah yang diterima dan dikakui Allah sedangkan al munkar adalah sebaliknya, yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima dan buruk. Frase tersebut berarti seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan kenyakinan sebenar-benarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya pebuatan yang bertantangan dengan norma Tuhan.[8]
            Sejarahpun telah mencatat dengan mazhab lain mengenai ajarankelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah jika memang diperlukan, kekerasanpun dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
D.    Analisis
Setelah melihat dari doktrin-doktrin yang ada pada mu’tazilah ini, penulis mencoba menganalisis melalui pendapat-pendapat para ulama berkaitan dengan doktrin-doktrin ini, khususnya pada ushulul khamsah.
Pada ajaran tauhid, mu’tazilah berpendapat bahwasanya Tuhan itu harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi kemahaesaannya. Untuk memurnikan kemahaesaannya Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan dan Tuhan tidak dapat dilihat oleh mata di akhirat nanti.
Memberikan sifat-sifat kepada Allah tidak akan mengurangi kemahaesaan Allah, bahkan dengan menetapkan sifat-sifat yang mulia yang suci dari segala kekurangan, akan menambah keagungan dan ke esaan Allah dari penyerupaan kepada makhluk, sehingga Al Kurdi dalam kitabnya Tanwirul Qulub berkata: “Secara keseluruhan, kita wajib untuk meyakini bahwasanya Allah memiliki sifat-sifat dengan segala kesempurnaan, suci dari segala cacat dan kekurangan, dan boleh bagi Allah untuk melakukan apa saja yang mungkin terjadi atau mengabaikannya”.[9] Dalam kitab Fath al Majid An Nahrawai berkata: “Secara Syara’, wajib bagi setiap mukallaf untuk meyakini dan mengetahui terhadap segala sifat yang wajib bagi Allah, yang mustahil ataupun yang jaiz pada haq Allah.” [10] dalam kitab azzubad disebutkan: “Kewajiban pertama atas manusia adalah mengetahui (ma’rifat) kepada Tuhan dengan seyakin-yakinnya”, maksudnya adalah mengetahui dengan semua yang berkaitan dengan Allah, baik sifat ataupun af’al Allah.[11] Dalam Al Aquran sangat banyak dditemukan sifat-sifat yang mulia yang disandarkan kepada Allah.
Dari uraian diatas, kita dapat simpulkan bahwasanya memberikan sifat-sifat yang mulia dan layak bagi Allah adalah wajib.
Aliran mu’tazilah juga menolak tentang melihat Allah dengan mata kepala di akhirat nanti. baiklah, mari kita amati uraian di bawah ini.
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ   4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ  
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat.(QS Al Qiyamah:22 – 23)
Dalam sebuah hadits Nabi SAW bersabda:
إنكم سترون ربكم كما ترون القمر ليلة البدر
“Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan pada malam purnama” (HR. Bukhari)
Penyerupaan pada ruyah menunjukkan tidak adanya keraguan dan kesamaran tentang melihat Allah itu benar-benar terjadi bagi orang yang beriman, bukan terhadap apa yang sesuatu yang dilihat.
Para ulama sepakat, bahwasanya pada hari kiamat nanti hamba yang beriman akan diberi nikmat oleh Allah dengan melihat Allah dengan mata kepala, tetapi tidak bisa dibayangkan bagaimana wujud Dzat Allah itu.
Dalam ayat lain Allah berfirman:
* tûïÏ%©#Ïj9 (#qãZ|¡ômr& 4Óo_ó¡çtø:$# ×oyŠ$tƒÎur ( Ÿwur ß,ydötƒ öNßgydqã_ãr ׎tIs% Ÿwur î'©!ÏŒ 4 y7Í´¯»s9'ré& Ü=»ptõ¾r& Ïp¨Ypgø:$# ( öNèd $pkŽÏù tbrà$Î#»yz ÇËÏÈ  
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. mereka Itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.” (QS Yunus: 26)
Jumhur mufassirin sepakat bahwasanya yang dimaksud dengan “al husna” adalah kenikmatan surga, sedangkan “ziadah” adalah nikmat ketika melihat Allah.
Jadi, melihat Allah adalah termasuk dari perkara yang harus kita yakini, khususnya bagi orang yang beriman, sedangkan orang yang kafir tidak mendapatkan nikmat tersebut.
Doktrin yang kedua adalah al adl, dari ushul ini mereka mempunyai pendapat bahwasanya manusia bebas dalam melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak Tuhan. Termasuk kewajiban Tuhan untuk berbuat baik bahkan yang terbaik kepada manusia. Juga mengutus rasul kepada manusia termasuk dari kewajiban Tuhan.
Menurut Ahlussunnah wal jama’ah, Aqidah mereka meyakini bahwasanya Allah Ta’ala yang menciptakan semua perbuatan makhluk termasuk ketaatan dan ma’siat, atas dasar ini maka pahala yang diberikan Allah itu merupakan karunia sedangkan adzab merupakan keadilan. Keduanya bukan menjadi suatu kewajiban bagi Allah.
Madzhab Ahlussunnah berpendapat, bahwasanya tidak ada bagi seorang hamba dalam perbuatan ikhtiarinya kecuali hanya sebatas usaha, hamba tidak di ikat atau dikuasai sepenuhnya sehingga seperti kapas yang diterbangkan oleh angin sebagaimana yang dikatakan oleh Jabariyyah, dan bukan pula menciptakan perbuatannya sendiri, sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’tazilah. Kedua aliran ini melampaui batas, sedangkan ahlussunnah mengambil jalan tengah. Karena sebaik-baik perkara adalah pertengahannya, sehingga aliran ahlussunnah diibaratkan seperti air susu yang keluar dari antara kotoran dan darah, yang memberikan penyegar bagi yang meminumnya. [12]
Mari kita amati kisah perjalanan Rasulullah ketika pulang dari Tha’if, ketika itu Rasulullah mengalami penderitaan yang amat berat, dari tha’if beliau di usir, kemudian terdengar khabar bahwasanya penduduk Makkah tidak menerima kedatangan Rasulullah lagi. Tetapi Beliau tidak putus asa, bahkan berniat untuk kembali ke Makkah lagi, sehingga Zaid bin Harits yang waktu itu menyertai beliau ta’jub dan bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana anda kembali ke Makkah, padahal anda tahu mereka telah mengusir anda??” Maka Rasul pun bersabda: “Ya Zaid, sesungguhnya Allah menjadikan terhadap apa yang kau lihat saat ini kelapangan dan jalan keluar, dan sesungguhnya Allah adalah Penolong bagi agama dan nabi-Nya”
Dari kisah ini kita bisa ambil pelajaran, sebenarnya Rasulullah mengetahui bahwasanya Allah pasti menolongnya, tetapi beliau tetap berusaha dengan sekuat tenaga dalam berda’wah, ini menunjukkan bahwasanya manusia itu tetap wajib berusaha, tetapi hasil Allahlah yang menentukan.[13]
Kesimpulannya, Hamba tidak bisa menentuka hasil dari perbuatannya, secara implisit ia dan perbuatannya di ciptakan oleh Allah, sedangkan secara eksplisit ia memiliki usaha.[14] Demikianlah yang diyakini oleh Ahlussunnah wal Jama’ah.
Kemudian aliran mu’tazilah juga berpendapat, bahwa termasuk kewajiban Allah mengutus rasul kepada manusia.
Dalam kitab Kifayatul Awam Al Baijuri berkata: termasuk sifat jaiz bagi Allah adalah mengutus semua rasul. Allah mengurus mereka karena anugerah Allah, bukan suatu kewajiban bagi Allah, karena tidak ada pekerjaan yang wajib bagi Allah.”[15]
Jadi mengutus rasul bagi Allah bukan suatu kewajiban, tetapi itu merupakan karunia dan anugerah Allah bagi manusia.
Ajaran ketiga dari mu’tazilah adalah tentang al wa’d dan al wa’id. Ajaran ini tidak memberi peluang bagi Tuhan selain menunaikan janji-janya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat ma’siat, kecuali orang yang bertaubat nasuha.
Menurut Ulama Ahlussunnah wal jama’ah, ketaatan tidak akan memberikan manfaat kepada Allah, begitu juga ma’siat tidak akan memberikan mudharat atas Allah, semua itu adalah ciptaan Allah. Ketaatan bukanlah penyebab pahala, ma’siatpun bukan juga penyebab siksa, tetapi keduanya adalah sebagai tanda yang menunjukkan bahwasanya pahala bagi orang yang taat dan siksa bagi yang berma’siat, sehingga apabila dibalik, umpamanya Allah berfirman: “Barangsiapa yang taat kepada-Ku maka Aku akan mengadzabnya, sedangkan bagi yang ma’siat akan Ku beri pahala”, hal ini boleh-boleh saja, tidak ada cela ataupun sanksi bagi Allah. Karena tidak ada bagi Allah pertanggung jawaban dari apa yang diperbuat-Nya. Ini semua menurut rasional cara berfikir akal, sedangkan secara syara’ tidak benar Allah menyalahi janji-Nya, karena itu merupakan perbuatan bodoh, sedangkan sifat ini adalah mustahil bagi Allah. Tidak ada atas Allah kewajiban dalam berbuat atau tidak berbuat.[16]
Ajaran yang keempat dari mu’tazilah adalah tentang tempat diantara surga dan neraka.
Kelompok Ahlussunnah meyakini bahwasanya di akhira nanti hanya ada dua tempat, yaitu surga dan neraka, sebagaimana yang banyak di sebutkan dalam Al Quran. Mengenai Ashabul Al A’raf, mereka adalah orang-orang yang berada di tempat yang tinggi, tidak di surga dan di neraka, tetapi pada akhirnya mereka masuk ke dalam surga.
Demikianlah analisis yang penulis uraikan melalui pendapat para Ulama, tetapi apapun usaha manusia kebenaran yang hakiki hanya milik Allah. Wallahu A’lam.


Daftar Pustaka

Ahmad Amin, Fajr Al Islam, An-Nahdah Kairo, 1965,
Al Baijuri, Kifayatul Awam, Al Hidayah, Surabaya
Al Baijuri, Tuhfat al murid, Al Haramain,
Al Kurdi, Tanwirul Qulub, Al Haramain
An Nahrawi, Fath al Majid, Al Haramain
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986
Luwis Ma’luf, Al Munjid fi al Lughah, Darul Kitab Al-Arabi, cet. X, Beirut, t.t.
Muhammad bin Abd. Al Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, tp,. Kairo 1951.
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Waqaf  Paramadina, Jakarta, 1995. Cet. II,
Sa’id Ramdhan Al Buthi, Fiqh Shirah, Dar el Fikr, Beirut Lebanon.
Utsman, Sifat Duapuluh, Al Haramain



[1] Luwis Ma’luf, Al Munjid fi al Lughah, Darul Kitab Al-Arabi, cet. X, Beirut, t.t., hlm. 207
[2] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Waqaf  Paramadina, Jakarta, 1995. Cet. II, hlm 17
[3] Muhammad bin Abd. Al Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, tp,. Kairo 1951. Hlm 48
[4] Ahmad Amin, Fajr Al Islam, An-Nahdah Kairo, 1965, hlm. 290
[5] Lihat Asy-Syahrastani, op.cit., hlm 48
[6] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986
[7] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah, Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986
[8] Lihat Asy-Syahrastani, op.cit., hlm 50
[9] Al Kurdi, Tanwirul Qulub, hlm.11
[10] Annahrawi, Fath al Majid, hlm.4
[11] Utsman, Sifat Duapuluh, hlm.2
[12] Al Baijuri, Tuhfat al murid, hlm. 65
[13] Sa’id Ramdhan Al Buthi, Fiqh Shirah, Dar el Fikr, Beirut Lebanon, hlm. 110
[14] Al Baijuri, Op.cit, hlm. 65
[15] Al Baijuri, Kifayatul Awam, hlm. 72
[16] Al baijuri, Tuhfat al Murid. Hlm. 67

Tidak ada komentar:

Posting Komentar